Pengembangan Wilayah, Tata Ruang, dan Pengaruhnya terhadap Kebahagiaan - siswaonlinelearning
News Update
Sunday, 8 June

Selasa, 30 Juli 2024

Pengembangan Wilayah, Tata Ruang, dan Pengaruhnya terhadap Kebahagiaan



A. Pengembangan Wilayah

1. Pengertian Wilayah

Beberapa ahli mendefinisikan wilayah. Dalam bahasa Inggris, istilah wilayah disebut region (Kant, 1991). Hadjisarosa (1981) mengungkapkan bahwa wilayah merupakan sebutan untuk lingkungan permukaan bumi yang jelas batasannya. Sementara Hartshorn (1982) mendefinisikan wilayah sebagai suatu area yang spesifik dan memiliki aspek pembeda dengan area lain. Dengan demikian, dapat dikemukakan bahwa wilayah merupakan dimensi ruang/spasial berupa area-area di permukaan bumi yang memiliki karakteristik spesifik yang berbeda dengan area lainnya. Istilah wilayah juga dapat digunakan untuk menunjukkan suatu tempat yang memiliki karakteristik khusus yang berbeda dengan tempat lain.

2. Jenis-Jenis Wilayah

Wilayah di permukaan bumi tidak satu, tetapi beragam jenisnya. Ada tiga jenis wilayah yang dapat dijumpai, yaitu wilayah formal (wilayah homogen), wilayah nodal (wilayah fungsional), dan wilayah perencanaan (wilayah program).

a. Wilayah Formal (Wilayah Homogen)

Wilayah formal (wilayah homogen) merupakan unit geografis yang digolongkan berdasarkan karakteristik yang sama. Kriteria penggolongan wilayah formal dapat berupa aspek fisik, sosial, politik, maupun ekonomi (Adisasmita, 2016; Rustiadi, 2017). Contohnya wilayah pertanian di perdesaan yang ditandai kesamaan mata pencaharian penduduk sebagai petani dan lingkungan fisik berupa lahan budi daya pertanian. Adapun wilayah industri ditandai dengan bangunan pabrik-pabrik yang luas. Wilayah formal apa saja yang terdapat di kota atau kabupaten kalian? Tentu, ada beberapa wilayah formal yang dapat kalian jumpai di sana untuk dijadikan contoh.
Sumber: Freepik.com/h9image dan wirestock (2022)

b. Wilayah Nodal (Wilayah Fungsional)

Wilayah nodal (wilayah fungsional) terdiri atas satuan wilayah yang heterogen sehingga memunculkan hubungan saling ketergantungan dengan wilayah lain. Pembentukan wilayah fungsional umumnya berlangsung secara dinamis dan berawal dari titik pusat (wilayah sentral) yang mendorong perkembangan wilayah di sekitarnya (Adisasmita, 2016; Karlsson & Olsson, 2006; Langenhove, 2012).
Contoh wilayah fungsional adalah wilayah Jabodetabek, Gerbangkertosusila, dan Pusat Bisnis Semarang. Tentu, wilayah jenis ini juga dapat kalian jumpai di berbagai tempat, walau tidak selalu tersedia. Kalian dapat mencari jenisjenis wilayah tersebut secara mandiri.
Sumber: Google map & Freepik.com/ h9image (2022)

c. Wilayah Perencanaan (Wilayah Program)

Wilayah perencanaan (wilayah program) merupakan satu kesatuan wilayah pengembangan yang menjadi objek dari program-program pembangunan. Wilayah perencanaan erat kaitannya dengan perencanaan tata ruang wilayah yang wilayah ini berfungsi sebagai objek atau alat untuk mencapai tujuan pembangunan. Wilayah perencanaan merupakan bagian penting dari suatu kebijakan regional, karena keberhasilan pembangunan wilayah ini akan berdampak positif pada kesejahteraan masyarakat dalam lingkup regional. Contohnya Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional Ibu Kota Nusantara Tahun 2022-2042 yang telah ditetapkan dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 64 Tahun 2022. Contoh lain adalah food estate yang dibangun di Kalimantan Tengah dan Sumatra Utara yang mengembangkan tanaman hortikultura. Kalian tentu dapat mencari contoh lain melalui sumber-sumber daring.
sumber : CNN Indonesia

3. Perwilayahan (Regionalisasi)

Istilah perwilayahan dapat juga diartikan sebagai proses identifikasi dan pengelompokan wilayah berdasarkan persamaan dan perbedaan karakteristiknya dengan wilayah lain. Praktik dalam perwilayahan dilakukan dengan memperhatikan kriteria dan tujuan dari pengelompokan wilayah terkait. Kriteria perwilayahan dapat berupa aspek fisik, sosial, budaya, dan ekonomi. Adapun tujuan perwilayahan dalam materi ini secara spesifik difokuskan untuk mengidentifikasi tiga jenis wilayah, yaitu wilayah formal, wilayah nodal, dan wilayah perencanaan.

a. Perwilayahan Formal (Perwilayahan Homogen)

Implementasi perwilayahan formal dilakukan dengan mengelompokkan wilayah-wilayah tertentu yang memiliki karakteristik serupa (homogen). Karakteristik wilayah yang homogen dapat diidentifikasi melalui data statistik yang memuat kondisi wilayah yang akan diidentifikasi. Data tersebut memudahkan untuk menemukan persamaan dan perbedaan yang terdapat di setiap wilayah. Hasil identifikasi inilah yang dijadikan sebagai acuan dalam pengelompokan wilayah secara formal. (Adisasmita, 2016; Symanski & Newman, 1973). Sebagai contoh, identifikasi dan pengelompokan wilayah provinsi dengan penduduk terbanyak dapat dilakukan dengan menganalisis data kependudukan per provinsi sehingga diperoleh wilayahwilayah berpenduduk terbanyak, yaitu Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatra Utara, Banten, dan Sulawesi Selatan. Wilayahwilayah
tersebut tidak berdekatan lokasinya, tetapi memiliki kesamaan sebagai wilayah dengan penduduk terbanyak.
Sumber: Kemendikbudristek/Hasbi Yusuf (2022)

b. Perwilayahan Nodal (Perwilayahan Heterogen)

Perwilayahan nodal atau polarisasi dilakukan dengan mempertimbangkan hubungan antara titik pusat dengan unit-unit lain yang ada di sekitarnya. Hubungan antara titik pusat dengan wilayah lain di sekitarnya dapat diidentifikasi melalui analisis pola keruangan suatu wilayah pada peta dan pola interaksi antara satu wilayah dengan wilayah lain (Farmer & Fotheringham, 2011; Symanski & Newman, 1973). Pola keruangan wilayah sentral (titik pusat) biasanya memiliki pengaruh yang besar terhadap dinamika yang berlangsung pada wilayah lain di sekitarnya. Contohnya perwilayahan fungsional untuk kawasan Gerbangkertosusila dilakukan berdasarkan keterkaitan keruangan yang tampak antara wilayah Surabaya sebagai titik pusat dengan wilayah Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo, dan Lamongan.
Sumber: Google map, Sakurai Midori, ig@fahmous, ig@mustafid9, Consigliere Ivan, dan Youtube (2022)


c. Perwilayahan Perencanaan (Perwilayahan Program)

Praktik dalam perwilayahan perencanaan dilakukan dengan mengelompokkan wilayah-wilayah tertentu berdasarkan posisinya dalam suatu program pembangunan. Identifikasi wilayah perencanaan mengacu pada dokumen perencanaan tata ruang wilayah dan program lainnya yang berkaitan dengan kebijakan pembangunan. Batasan dalam perwilayahan perencanaan ini didasarkan pada analisis pembangunan dan lingkungan geografis tempat program pembangunan berlangsung (Adisasmita, 2016; Mahi, 2016; Rustiadi et al., 2017). Sebagai contoh pengembangan industri hijau (green industry) di Kalimantan Utara. Wilayah hutan di lokasi tersebut sedang dikembangkan menjadi wilayah industri hijau.
Sumber: Setpres RI/Facebook & Helena Della (2022)

4. Tujuan, Prinsip, dan Teori Pengembangan Wilayah

Sering kali ketika kalian menghadapi permasalahan wilayah dan perwilayahan mengalami kesulitan menjelaskannya. Bagaimana suatu wilayah terbentuk? Faktor-faktor apa saja yang turut berpengaruh? Bagaimana koneksi antara satu wilayah dengan wilayah lainnya? Bagaimana arah pengembangan wilayah tersebut? Dalam menghadapi kesulitan tersebut, pengetahuan tentang tujuan, prinsip, dan teori pengembangan wilayah diperlukan. Tujuan pengembangan wilayah diperlukan sebagai arahan yang hendak dicapai. Prinsip diperlukan sebagai landasan berpikir dalam menyikapi permasalahan kewilayahan yang terjadi. Teori-teori kewilayahan diperlukan untuk menjelaskan fenomena yang terjadi.

a. Tujuan Pengembangan Wilayah

Ada beberapa tujuan pengembangan wilayah yang perlu diperhatikan agar arah yang dituju tercapai, yaitu sebagai berikut.

1) Mewujudkan pemerataan pertumbuhan wilayah

Pemerataan pertumbuhan wilayah dimaksudkan untuk mengurangi kesenjangan dan menekan jumlah wilayah yang tertinggal akibat ketidakmerataan pembangunan. Hal ini merupakan sasaran utama pengembangan wilayah, yaitu untuk mendorong pertumbuhan wilayah secara menyeluruh demi tercapainya kesejahteraan masyarakat secara utuh.

2) Menjaga stabilitas ekonomi nasional

Stabilitas ekonomi nasional dapat diartikan sebagai perekonomian negara yang kondusif dan berlangsung dalam jangka panjang. Perekonomian yang kondusif ini sering kali diasosiasikan dengan stabilnya harga barang/jasa, meningkatnya daya beli masyarakat, serta meningkatnya pendapatan nasional. Stabilitas ekonomi menjadi salah satu fokus utama pengembangan wilayah karena berkaitan dengan kesejahteraan dan kemakmuran ekonomi masyarakat.

3) Mendorong efisiensi pertumbuhan wilayah

Pertumbuhan wilayah yang efisien dipengaruhi oleh ketersediaan infrastruktur dan sarana yang memadai bagi masyarakat. Infrastruktur tersebut secara simultan turut meningkatkan konektivitas antarwilayah dan mendorong tingginya aktivitas yang berlangsung di wilayah tersebut. Dengan demikian, pertumbuhan wilayah tidak hanya berlangsung pada satu wilayah saja, tetapi juga dapat memacu pertumbuhan wilayah-wilayah lain di sekitarnya (Mahi, 2016; Hadjisarosa, 1982).

b. Prinsip dan Teori-Teori Pengembangan Wilayah

Implementasi pengembangan wilayah dilandasi oleh beberapa prinsip. Ada empat prinsip dasar pengembangan wilayah yang perlu diperhatikan, yaitu sebagai berikut (Mulyanto, 2008).
  • Pengembangan wilayah tidak hanya berfokus untuk membangun internal wilayah tertentu, tetapi juga untuk mendorong perkembangan wilayah di sekitarnya.
  • Keberhasilan pengembangan wilayah memerlukan kerja sama multisektoral dan melibatkan kerja sama antarwilayah.
  • Pola pengembangan wilayah bersifat integral, yaitu integrasi dari daerahdaerah yang termasuk dalam wilayah pembangunan.
  • Dalam pengembangan wilayah, mekanisme pasar dan kondisi ekonomi juga menjadi perasyarat dalam perencanaan pembangunan.
Teori-teori dalam pengembangan wilayah berfokus pada tiga pilar utama, yaitu sumber daya alam, sumber daya manusia, dan teknologi. Ketiga pilar tersebut merupakan elemen esensial yang dapat mendorong pelaksanaan pengembangan wilayah secara optimal, tetapi tetap memperhatikan keberlanjutan lingkungan alam (Mahi, 2016; Adisasmita, 2016). Ada tiga teori pengembangan wilayah yang perlu dipahami, yaitu teori kutub pertumbuhan, teori lokasi, dan teori agropolitan. Ketiga teori tersebut diuraikan sebagai berikut.

1) Teori Kutub Pertumbuhan

Teori kutub pertumbuhan (the growth pole theory) dikemukakan oleh Francois Perroux pada 1955. Teori ini menyatakan bahwa pertumbuhan atau pembangunan tidak dilakukan di seluruh ruang wilayah, tetapi terbatas pada beberapa lokasi tertentu yang dianggap sebagai kutub pertumbuhan. Lokasi ini memiliki konsentrasi aktivitas masyarakat yang lebih tinggi sehingga diharapkan mampu memberikan pengaruh pertumbuhan yang positif untuk wilayah lain di sekitarnya. Situasi inilah yang kemudian disebut dengan istilah penjalaran (spread) (Gulo, 2015; Rustiadi et al., 2017).
Pesatnya aktivitas ekonomi di wilayah kutub pertumbuhan juga turut mendorong aliran investasi ke arah wilayah di bawahnya (wilayah dengan hierarki ekonomi yang lebih kecil). Fenomena ini kemudian dikenal dengan istilah trickling down effect atau pengaruh tetesan ke bawah. Selain efek penjalaran dan tetesan ke bawah, dalam teori kutub pertumbuhan juga dikenal istilah backwash (penarikan). Efek penarikan ini terjadi ketika kemajuan wilayah kutub pertumbuhan mengakibatkan tenaga kerja produktif dan modal ekonomi terserap ke arah wilayah tersebut sehingga hal ini secara langsung akan menghambat pertumbuhan wilayah di sekitarnya. Selanjutnya, wilayah yang mendapat pengaruh penarikan (backwash effect) akan mengalami kemunduran dan disebut dengan daerah peri peri (Mahi, 2016).
Letak kutub pertumbuhan dalam teori ini merujuk pada suatu daerah yang memiliki industri kunci dan pusat berbagai kegiatan ekonomi yang berpotensi mendorong tumbuhnya industri lain di sekitarnya (Adisasmita, 2016). Adapun karakteristik wilayah yang dapat dijadikan sebagai lokasi kutub pertumbuhan, antara lain sebagai berikut.

a) Memiliki berbagai sektor kegiatan ekonomi yang saling berhubungan.

Lokasi yang ideal untuk pusat pertumbuhan harus memiliki kegiatan ekonomi yang heterogen (beragam) dan saling berkaitan. Keterkaitan aktivitas ekonomi inilah yang kemudian turut menghidupkan perekonomian dan mendorong kemajuan wilayah secara menyeluruh.

b) Terdapat sektor yang saling terkait sehingga menciptakan efek pengganda.

Efek pengganda (multiplier effect) merupakan hasil dari interaksi ekonomi yang memberikan pengaruh secara luas bagi kehidupan masyarakat.

c) Adanya konsentrasi geografis dalam suatu wilayah.

Konsentrasi geografis dimaksudkan sebagai keberagaman sumber daya alam dan sumber daya manusia yang terpusat di suatu wilayah. Potensi tersebut merupakan modal awal terbentuknya beragam aktivitas ekonomi seperti pertukaran barang dan jasa. Kegiatan ekonomi yang terpusat seperti ini akan menjadi keunikan dan kekuatan tersendiri bagi wilayah sentral.

d) Bersifat mendorong daerah penyangga yang ada di sekitarnya.

Lokasi strategis yang akan dijadikan sebagai pusat pertumbuhan harus mampu mendorong kemajuan wilayah penyangga di sekitarnya. Hal ini dikarenakan wilayah penyangga (hinterland) berperan dalam menyediakan bahan baku kegiatan ekonomi di wilayah pusat. Dengan demikian, pertumbuhan wilayah penyangga akan menentukan kemajuan ekonomi wilayah pusat (Setyanto & Irawan, 2016).
Implementasi teori kutub pertumbuhan dalam pembangunan nasional tercermin dalam kebijakan pemerintah yang membagi wilayah Indonesia ke dalam empat region pusat pertumbuhan. Keempat wilayah pusat pertumbuhan tersebut adalah Medan, Jakarta, Surabaya, dan Makassar. Masing-masing pusat pertumbuhan tersebut kemudian dibagi lagi ke dalam beberapa wilayah pembangunan. Adapun penggolongan wilayah pusat pertumbuhan di Indonesia dapat dilihat pada tabel berikut.

Sumber: Adisasmita (2016)

2) Teori Lokasi

Teori lokasi merupakan salah satu teori yang mendasari pelaksanaan pembangunan yang berbasis wilayah. Landasan berpikir (asumsi dasar) teori ini berfokus untuk mengelola lokasi kegiatan ekonomi semaksimal mungkin agar seluruh ruang wilayah dapat memberikan manfaat dan nilai tambah yang optimal. Teori ini terus mengalami perkembangan seiring dengan berubahnya mekanisme pasar dan pelaku ekonomi. Beberapa teori dasar yang berkembang dalam teori lokasi ialah teori klasik (teori sewa tanah), teori lokasi optimum, dan teori lokasi sentral.

a) Teori Klasik (Teori Sewa Tanah)

Konsep dari teori ini pertama kali diperkenalkan oleh J.H. von Thunen (1982). Teori ini mengasumsikan bahwa nilai sewa lahan pertanian ditentukan oleh jaraknya terhadap pusat kota atau pasar. Menurut Von Thunen, harga lahan akan semakin menurun seiring dengan meningkatnya jarak lahan dari pusat kota. Asumsi ini diukur berdasarkan perbedaan manfaat biaya transportasi yang diperoleh dari lokasi lahan yang dekat dengan pusat kota. Semakin besar jarak lahan pertanian dari pasar atau pusat kota, akan berdampak pada tingginya biaya jual untuk menutupi biaya transportasi. Sebaliknya, semakin dekat jarak lahan dengan pusat kota atau pasar, maka biaya transportasi dan harga jual produk akan menjadi lebih rendah (Adisasmita, 2008).
Gagasan utama dari teori sewa tanah ini antara lain: (1) Lokasi lahan pertanian yang jauh dari pusat kota atau pasar akan mengharuskan petani menempuh jarak yang cukup jauh untuk menjual hasil panen. (2) Nilai sewa lahan pertanian akan berbeda-beda bergantung pada jarak lahan tersebut dengan pusat kota. (3) Produsen tersebar pada daerah yang luas, tetapi konsumen/pembeli terkonsentrasi pada titik sentral yang umumnya bertempat di pusat kota/pasar. Ketiga gagasan tersebut berperan penting dalam pengembangan wilayah terutama untuk menentukan lokasi dari berbagai kegiatan perekonomian (Setyanto & Irawan, 2016). Selanjutnya, untuk memudahkan pemahaman terkait teori lokasi klasik, perhatikan ilustrasi berikut.
Teori Lokasi Von Thunen
Sumber: Adisasmita (2008)

b) Teori Lokasi Optimum

Teori lokasi optimum diperkenalkan oleh Alfred Weber pada 1909. Landasan berpikir teori ini menyatakan bahwa penentuan lokasi industri didasarkan pada prinsip biaya minimum. Lokasi industri yang menguntungkan menurut Weber terletak pada wilayah dengan biaya transportasi dan biaya tenaga kerja paling rendah. Dalam teori ini, transportasi, upah tenaga kerja, dan kekuatan aglomerasi merupakan tiga variabel penting yang berpengaruh terhadap penentuan lokasi industri. Teori ini sejatinya membebaskan setiap pelaku industri dalam menentukan lokasi optimum. Namun, Weber memberikan tiga skema analisis penentuan lokasi industri berdasarkan dua faktor penentu, yaitu indeks material dan berat lokasional. Indeks material merupakan perbandingan antara berat bahan baku dengan berat produk akhir yang akan dipasarkan. Berat lokasional adalah berat keseluruhan yang harus diangkut dari tempat produksi. Berat lokasional ini dihitung mulai dari bahan baku, bahan bakar, hingga menjadi produk hasil akhir.
Gambar A. Apabila produk akhir dari suatu kegiatan industri mengalami penambahan berat/volume dari berat/volume bahan baku awal, lokasi optimum akan cenderung berada di dekat pasar.
Gambar B. Apabila produk akhir dari suatu kegiatan industri mengalami penyusutan berat/volume dari berat/volume bahan baku awal, lokasi industri akan cenderung berada dekat dengan lokasi bahan baku.
Gambar C. Apabila perbandingan berat produk awal dengan produk akhir tidak mengalami penambahan atau penyusutan signifikan (netral), lokasi optimum berada tepat di antara lokasi bahan baku dan pasar. Ketiga skema penentuan lokasi optimum tersebut dinyatakan dalam segitiga lokasi berikut.
Skema Penentuan Lokasi Optimum

Skema lokasi industri pada segitiga A memiliki indeks material kurang dari 1, yaitu berat bahan baku lebih kecil daripada berat produk akhir yang akan dipasarkan. Dengan demikian, untuk meminimalkan biaya transportasi yang ditentukan oleh berat lokasional produk, maka lokasi optimum diletakkan pada wilayah yang dekat dengan pasar. Sebaliknya, pada skema segitiga B, memiliki indeks material lebih dari 1, yaitu berat bahan baku lebih besar daripada berat produk akhir yang akan dipasarkan. Dengan demikian, untuk meminimalkan ongkos transportasi, maka lokasi industri sebaiknya diletakkan di dekat bahan baku. Pada skema segitiga C, apabila berat bahan baku dan produk akhir tidak mengalami perubahan yang signifikan (netral), maka lokasi industri dapat diletakkan di tengah antara lokasi bahan baku dan juga pasar. Pertimbangan penentuan lokasi industri berdasarkan skema ini, selain berfungsi untuk meminimalisasi biaya, juga untuk meningkatkan efisiensi distribusi barang, dan mencegah ketidaknyamanan akibat terlalu lama membawa material produk yang lebih berat (Adisasmita, 2008; Setyanto & Irawan, 2016).

c) Teori Lokasi Sentral

Teori ini dipopulerkan oleh Walter Christaller pada tahun 1933. Teori ini membahas model hierarki perkotaan yang digambarkan dalam suatu sistem geometrik berbentuk heksagonal. Sistem geometri ini digunakan sebagai acuan dalam menentukan lokasi ideal untuk dijadikan sebagai pusat pelayanan.
Berdasarkan tingkatan wilayahnya, unit geografis yang memiliki orde perkembangan lebih tinggi akan mempunyai wilayah perdagangan dan pelayanan yang lebih luas. Selanjutnya perhatikan ilustrasi berikut.
Teori Lokasi Sentral
Penentuan pusat pelayanan dalam teori ini dipengaruhi oleh kondisi dua variabel penting, yaitu treshold dan range. Treshold merupakan nilai minimum (pendapatan/usaha) yang diperlukan pelaku ekonomi untuk menjaga stabilitas produksinya. Adapun range merupakan jarak maksimum yang harus ditempuh oleh penduduk untuk mendapatkan barang/jasa di lokasi sentral (Adisasmita, 2008; Berry & Garrison, 1958).
Lokasi sentral terbentuk akibat adanya interaksi antarwilayah perdagangan (pasar) yang digambarkan dalam bentuk lingkaran saling berhimpitan. Interaksi antar lingkaran tersebut selanjutnya menciptakan bidang heksagon (segi enam) yang lebih luas tanpa tumpang tindih. Apabila ditinjau secara horizontal, bidang heksagon ini menunjukkan sejumlah unit geografis yang bervariasi, mulai dari permukiman, pasar, hingga perkotaan.
Teori lokasi sentral mencoba menjelaskan pola geografis dan struktur hierarki pusat kota yang saling terhubung dalam satu sistem fungsional. Hal ini dapat diartikan bahwa lokasi sentral atau wilayah pusat akan memberikan pengaruh bagi wilayah penyangga. Pengaruh ini dapat berupa pengaruh yang positif dan negatif. Ada beberapa asumsi dasar yang dijadikan acuan dalam teori ini, antara lain:
  • memiliki topografi wilayah yang datar,
  • mobilitas atau perpindahan dapat dilakukan ke segala arah,
  •  penduduk dan daya beli tersebar merata ke seluruh penjuru wilayah, serta
  • pembeli mengutamakan jarak minimum untuk mencapai tujuan (Berry & Garrison, 1958; Setyanto & Irawan, 2016).

3) Teori Agropolitan

Teori agropolitan merupakan pendekatan dalam pengembangan wilayah yang bertujuan untuk mencapai kesejahteraan dan pemerataan pembangunan. Secara etimologis, istilah agropolitan berasal dari dua kata, yaitu “agro” yang berarti pertanian dan “polis” yang berarti kota. Dengan demikian, agropolitan dapat diartikan pengembangan wilayah yang memadukan pembangunanpertanian sebagai aktivitas ekonomi pedesaan dengan sektor industri (Mahi, 2016; Nugroho & Widyagama, 2017).
Teori ini pertama kali diperkenalkan oleh Friedman dan Douglass pada tahun 1978. Bermula dari pemikiran Myrdal yang mengemukakan perlunya penyebaran fasilitas secara merata untuk mengurangi ketimpangan regional antar wilayah desa dan kota. Konsep dasar dalam paradigma ini menitikberatkan pada penyediaan fasilitas yang setara dengan kota untuk kesejahteraan masyarakat desa. Pelayanan tersebut dapat berupa pelayanan kegiatan ekonomi, kegiatan sosial budaya, dan kehidupan sehari-hari. Pusat pelayanan ini memberikan keuntungan bagi petani karena dapat meminimalkan biaya produksi dan biaya pemasaran (Mahi, 2016; Adisasmita, 2008).

5. Pendekatan dan Arah Pengembangan Wilayah

Nasional, Regional, dan Lokal Indonesia memiliki wilayah yang luas. Berdasarkan Undang-undang no 29 tahun 2002 tentang Pembentukan Provinsi Papua Barat Daya terdiri 38 provinsi, 416 kabupaten, 98 kota, 7.288 kecamatan, 7.4961 desa dan 8.506 kelurahan yang tersebar dari Sabang sampai Merauke, dari Pulau Miangas sampai Pulau Rote. Sementara jumlah penduduk tahun 2020 telah mencapai 273,5 juta jiwa dan akan terus bertambah pada waktu-waktu mendatang. Jumlah penduduk yang terus bertambah tersebut tak pelak membutuhkan ruang baru untuk permukiman, industri, pertanian, dan keperluan wilayah lainnya.

a. Pendekatan Pengembangan Wilayah

Pengembangan wilayah merupakan serangkaian proses yang berperan penting dalam mendukung keberhasilan pembangunan nasional. Pengembangan wilayah dapat ditinjau dengan dua pendekatan, yaitu pendekatan spasial dan pendekatan sektoral.

1) Pendekatan Spasial

Pendekatan spasial berorientasi pada lokasi atau letak pengembangan suatu wilayah. Pendekatan spasial memperhatikan beberapa unsur wilayah, yaitu struktur keruangan, pemanfaatan lahan, dan keterkaitan antarwilayah.

a) Struktur keruangan

Struktur keruangan menggambarkan sistem pelayanan kegiatan dan jaringan infrastruktur yang dikembangkan untuk mengintegrasikan wilayah dan melayani fungsi kegiatan dalam suatu wilayah. Contohnya Kota Malang memiliki layanan kegiatan bagi warganya untuk kegiatan pendidikan (mulai PAUD hingga pendidikan tinggi), kesehatan (rumah sakit dan puskesmas), ekonomi (pasar tradisional dan modern), serta kegiatan sosial rekreatif (lapangan dan tempat). Selain itu, memiliki jaringan jalan yang menghubungkan antar wilayah untuk kegiatan warga secara ekonomi, sosial, dan lain-lain.

b) Pemanfaatan lahan

Pemanfaatan lahan menggambarkan upaya memanfaatkan lahan untuk memperoleh hasil. Contohnya pemanfaatan lahan pertanian untuk pembangunan perumahan, pertokoan, dan perhotelan yang banyak terjadi di perkotaan.

c) Keterkaitan suatu wilayah dengan wilayah lain di sekitarnya

Keterkaitan antar wilayah menggambarkan jalinan jalan yang menghubungkan dengan wilayah-wilayah sekitarnya. Contohnya Kota Malang telah terintegrasi dengan wilayah Kota Batu dan Kabupaten Malang. Ada jalan besar dan jalan kecil yang menghubungkan dengan wilayah-wilayah sekitarnya, baik wilayah formal maupun wilayah nodal yang ada.

2) Pendekatan Sektoral

Pendekatan sektoral merupakan suatu cara pandang bahwa seluruh kegiatan ekonomi di dalam wilayah perencanaan dikelompokkan atas dasar sektorsektor yang berfokus pada aktivitas manusia (Mirza et al., 2017). Analisis pendekatan sektoral dilakukan secara mendalam dengan pertanyaanpertanyaan berikut.
  • Sektor apa yang memiliki nilai keunggulan kompetitif dalam pasar global?
  • Sektor apa yang bersifat basis dan nonbasis?
  • Sektor apa yang memiliki nilai tambah yang tinggi?
  • Sektor apa yang banyak menyerap tenaga kerja?
Keempat pertanyaan tersebut menjadi panduan pengembangan sektorsektor yang akan dipilih, misalnya sektor primer, sekunder, dan tersier. Sektor primer dapat berupa pertanian, perkebunan, perikanan, dan sebagainya. Sektor sekunder dapat berupa berbagai jenis industri, seperti industri pangan, pakaian, perumahan, industri berat, sedang, dan kecil. Sektor tersier dapat berupa sektor jasa, seperti jasa perdagangan, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya. Selanjutnya setiap sektor dianalisis satu persatu secara lebih mendalam. Setiap sektor dilihat potensi dan peluangnya, kemudian ditetapkan apa yang dapat ditingkatkan dan di mana lokasi kegiatan peningkatan tersebut. Contoh untuk analisis sektor pertanian, dapat dibagi menjadi subsektor, seperti tanaman pangan, palawija, dan buah-buahan. Setiap subsektor memiliki komoditas masing-masing. Untuk masing-masing subsektor dapat diperinci lagi atas komoditas yang dominan. Contohnya untuk subsektor bahan makanan dapat diperinci atas komoditi beras, kacangan-kacangan, dan sayuran. Implementasi pendekatan sektoral merupakan pelaksanaan pengembangan wilayah nasional yang merujuk pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN). Dokumen tersebut memuat serangkaian kebijakan lintas sektoral yang dijadikan sebagai panduan dalam pelaksanaan pengembangan wilayah di Indonesia (Nur & Puspasari, 2015; Setneg RI, 2020).

b. Arah Kebijakan Pengembangan Wilayah Nasional, Regional, dan Lokal

Untuk pengembangan wilayah nasional diperlukan arah kebijakan. Secara nasional, ada lima arah kebijakan pengembangan wilayah, yaitu sebagai berikut (Setneg RI, 2020).

1) Pengembangan potensi ekonomi

Arah pengembangannya dilakukan melalui pemberdayaan pusat-pusat pertumbuhan sesuai dengan potensi unggulan yang terdapat di setiap wilayah.

2) Pembangunan konektivitas antarwilayah

Arah pengembangannya dilakukan dengan memperluas pertumbuhan ekonomi dari pusat-pusat pertumbuhan ke wilayah penyangga di sekitarnya (hinterland).

3) Optimalisasi sumber daya manusia dan iptek

Arah pengembangannya dilakukan melalui pemberdayaan tenaga kerja untuk meningkatkan kompetensi sesuai dengan kebutuhan industri di masingmasing pusat pertumbuhan.

4) Peninjauan regulasi dan kebijakan

Arah pengembangannya dilakukan dengan tujuan untuk mempercepat pertumbuhan wilayah. Peninjauan regulasi dilakukan melalui serangkaian proses evaluasi dan perubahan regulasi yang dinilai menghambat pertumbuhan ekonomi.

5) Peningkatan iklim usaha dan investasi

Arah pengembangannya dilakukan dengan penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) di kawasan strategis dengan melimpahkan kewenangan perizinan dari kepala daerah kepada Kepala PTSP.
Sejalan dengan pengembangan wilayah nasional, pelaksanaan pengembangan wilayah di tingkat regional juga mengacu pada dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD), dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). Dokumen tersebut secara spesifik membahas mengenai kondisi spasial, ekonomi, potensi alam, demografis, dan sumber daya manusia yang terdapat di wilayah setempat serta rencana pengembangan wilayah yang akan dijalankan sesuai visi, misi, dan tujuan pembangunan (Ariadi, 2019).
Pelaksanaan pengembangan wilayah pada taraf lokal secara hierarkis mengacu pada dokumen perencanaan pembangunan wilayah administratif yang lebih besar. Sebagai contoh dalam perumusan RPJMD wilayah desa, meskipun diatur secara otonom, tetapi segala bentuk strategi dan arah pembangunan harus sesuai dengan visi dan misi wilayah administratif yang ada di atasnya, yaitu kabupaten/kota. Pengembangan wilayah yang sistematis akan mencegah terjadinya tumpang tindih kebijakan dan mendorong hubungan fungsional yang harmonis antarwilayah di Indonesia. Hubungan fungsional ini pada akhirnya akan mendorong pertumbuhan ekonomi hingga wilayah perdesaan (Ariadi, 2019; Setyanto & Irawan, 2016).

6. Elemen dan Permasalahan Pengembangan Wilayah

a. Elemen Pengembangan Wilayah

Pengembangan wilayah merupakan proses pembangunan yang melibatkan beberapa elemen. Ada tiga elemen utama pengembangan wilayah, yaitu sumber daya alam, sumber daya manusia, dan teknologi.

1) Sumber daya alam

Secara umum pengembangan wilayah merupakan upaya pendayagunaan sumber daya alam untuk memperoleh nilai tambah bagi suatu wilayah. Dengan demikian, keberadaan sumber daya alam merupakan modal penting yang menentukan arah pengembangan suatu wilayah.

2) Sumber daya manusia

Sumber daya manusia merupakan salah satu modal utama dalam pembangunan. Manusia berperan sebagai stakeholder atau penggerak dalam proses pembangunan. Sumber daya manusia yang memadai akan sangat mempengaruhi keberhasilan dalam pengembangan suatu wilayah.

3) Teknologi

Teknologi dalam pengembangan wilayah berperan sebagai alat bantu untuk memudahkan proses pembangunan. Penggunaan teknologi yang tepat akan mendorong optimalisasi dan efisiensi dalam kegiatan pembangunan. Hal ini juga dapat berdampak pada minimalisasi waktu, biaya, dan tenaga yang diperlukan.

b. Permasalahan Pengembangan Wilayah

Dalam pembangunan nasional, pelaksanaan pengembangan wilayah ditekankan pada upaya-upaya strategis untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang stabil dan merata. Stabilitas ekonomi dan pemerataan pertumbuhan wilayah merupakan strategi pembangunan nasional yang selalu menjadi agenda dalam setiap periode pemerintahan. Hal ini karena Indonesia masih dihadapkan pada masalah kesenjangan antarwilayah dan permasalahan pembangunan lainnya, seperti infrastruktur jalan yang masih kurang memadai dan teknologi yang perlu peningkatan.
Masalah kesenjangan antarwilayah terlihat dari kesenjangan wilayah barat dengan wilayah timur, kesenjangan wilayah Jawa dengan luar Jawa, serta kesenjangan wilayah kota dan desa. Wilayah Indonesia Barat memiliki infrastruktur wilayah yang lebih memadai daripada wilayah Indonesia Timur.
Wilayah Jawa memiliki infrastruktur yang baik daripada wilayah luar Jawa.Demikian juga wilayah perkotaan memiliki infrastruktur yang lebih lengkap daripada wilayah perdesaan. Dengan banyak dan kompleksnya masalah pengembangan wilayah, maka diperlukan langkah yang terfokus pada pemecahan masalah pembangunan. Masalah-masalah isu strategis dalam pengembangan wilayah Indonesia di antaranya dirangkum dalam uraian berikut.

1) Persebaran sumber daya yang tidak merata

Ketidakmerataan persebaran sumber daya di Indonesia tercermin dari banyaknya produk unggulan dan lokasi strategis yang belum dikembangkan secara optimal. Hal ini dikarenakan lokasi potensial tersebut letaknya jauh dari pusat pertumbuhan ekonomi sehingga informasi pasar dan teknologi pengembangan produk menjadi sulit untuk dijangkau (Dewi et al., 2011).

2) Pembangunan wilayah yang tidak seimbang

Pembangunan wilayah yang tidak seimbang tercermin dari pertumbuhan wilayah yang masif di kota-kota besar seperti di Jawa dan Bali, sedangkan pertumbuhan kota-kota menengah-kecil, terutama di luar Pulau Jawa, masih berlangsung lambat. Ketidakseimbangan ini diperparah dengan adanya kesenjangan pembangunan yang mendorong urbanisasi tak terkendali.

3) Akses fasilitas antarwilayah yang kurang merata

Kondisi yang timpang dalam pembangunan wilayah nasional juga terjadi pada aspek pelayanan. Sejumlah infrastruktur dan lembaga pelayanan publik lebih banyak terkonsentrasi di daerah perkotaan (Sukwika, 2018).

4) Keterbatasan di wilayah-wilayah tertinggal

Wilayah-wilayah tertinggal merupakan subsistem yang perlu mendapatkan perhatian dalam pemerataan pembangunan. Masyarakat di wilayah tertinggal umumnya cenderung kesulitan memperoleh akses informasi, pelayanan sosial, ekonomi, dan juga politik (Syahza & Suarman, 2018).

5) Kerusakan lingkungan dan krisis sumber daya alam

Permasalahan pengembangan wilayah selanjutnya ialah krisis sumber daya alam dan kerusakan lingkungan. Permasalahan ini timbul akibat adanya praktik pembangunan yang kurang memperhatikan aspek keberlanjutan (sustainability), daya dukung lingkungan, dan kerentanan bencana di suatu wilayah. Dampak praktik pembangunan seperti ini memang memberikan keuntungan ekonomi jangka pendek, tetapi juga memberikan potensi kerugian dan krisis lingkungan jangka panjang (Samli, 2012).
Permasalahan yang berkaitan dengan pengembangan wilayah apabila
tidak diantisipasi, akan menimbulkan hambatan bahkan gangguan bagi pelaksanaan pembangunan. Perlu adanya kesadaran dan partisipasi masyarakat untuk bersama-sama menanggulangi permasalahan tersebut. Ada beberapa strategi dan kebijakan yang dapat dilakukan untuk mengurangi dampak dari permasalahan tersebut. Berikut merupakan beberapa solusi yang dapat diterapkan.

1) Melakukan percepatan pembangunan wilayah strategis

Upaya percepatan pembangunan wilayah strategis dan cepat tumbuh secara simultan akan mendorong pertumbuhan wilayah-wilayah tertinggal di sekitarnya. Secara spesifik upaya ini menekankan pada pengembangan produk unggulan daerah sehingga mendorong terwujudnya koordinasi, sinkronisasi, dan keterpaduan antarsektor pemerintahan, dunia usaha, dan masyarakat. Sinkronisasi ini adalah langkah penting dalam mendukung peluang usaha dan investasi di tingkat daerah (Firdaus, 2013).

2) Memprioritaskan pengembangan wilayah terpencil dan tertinggal

Implementasi pengembangan wilayah selain berfokus pada kawasan strategis dan cepat tumbuh, juga perlu memperhatikan pertumbuhan ekonomi pada wilayah terpencil dan tertinggal. Keberpihakan pemerintah pada wilayahwilayah ini perlu ditingkatkan agar pertumbuhannya dapat terstimulasi lebih cepat dan ketertinggalan pembangunan di wilayah tersebut menjadi semakin berkurang (Syahza & Suarman, 2018).

3) Pengembangan jaringan prasarana dan sarana antarwilayah

Strategi ini memiliki fungsi untuk meningkatkan aksesibilitas, konektivitas, dan peluang investasi antarwilayah. Hal ini secara langsung dapat menimbulkan keterkaitan yang positif antara wilayah yang maju, berkembang, dan terbelakang (Sukwika, 2018).

4) Menekan kesenjangan antarwilayah

Tujuan utama dari pengurangan kesenjangan antarwilayah ialah untuk menyetarakan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat, baik di lingkup lokal maupun nasional. Upaya pemerataan ini perlu memperhatikan potensi dan peluang dari keunggulan sumber daya alam yang selama ini belum optimal sebagai satu kesatuan pengelolaan sumber daya alam di dalam setiap wilayah (Sumirat, 2019).

5) Meningkatkan peluang interaksi ekonomi desa dan kota

Keterkaitan aktivitas ekonomi di wilayah perkotaan dan perdesaan perlu ditingkatkan agar tercipta sinergi antarwilayah. Hubungan ini secara simultan akan mendorong pertumbuhan ekonomi yang merata. Peningkatan keterkaitan tersebut memerlukan adanya perluasan dan diversifikasi aktivitas ekonomi nonagraris di wilayah perdesaan.

6) Mengembangkan sektor agroindustri padat pekerja untuk kawasan perdesaan

Pembangunan perdesaan didorong melalui pengembangan agroindustri padat pekerja, terutama bagi sektor pertanian dan kelautan. Hal ini dapat pula didukung oleh peningkatan kapasitas sumber daya manusia di perdesaan, pengembangan jaringan infrastruktur penunjang kegiatan produksi di kawasan perdesaan dan kota-kota kecil terdekat, peningkatan akses informasi, pemasaran, lembaga kesempatan kerja, dan teknologi. Selanjutnya pengembangan social capital dan human capital yang belum tergali potensinya sehingga kawasan perdesaan tidak semata-mata mengandalkan sumber daya alam saja. Terakhir ialah intervensi harga dan kebijakan perdagangan yang berpihak pada produk pertanian (Hariayanto, 2017).

7) Mengoptimalkan kebijakan tata ruang wilayah

Pengembangan wilayah perlu memperhatikan aspek penataan ruang yang tepat sehingga terjadi kesinambungan antara perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian tata ruang. Kebijakan penataan ruang harus memuat arahan lokasi kegiatan, batasan kemampuan lahan, termasuk di dalamnya adalah daya dukung lingkungan dan kerentanan terhadap bencana alam, serta efisiensi dan sinkronisasi pemanfaatan ruang dalam rangka penyelenggaraan berbagai kegiatan (Samli, 2012).

B. Pengembangan Desa dan Kota

Sebagian dari kalian tentu ada yang tinggal di wilayah perdesaan dan ada pula yang tinggal di perkotaan. Bagi kalian yang tinggal di pedesaan selalu melihat fenomena pemanfaatan lahan oleh petani dengan menanami berbagai jenis tanaman, seperti padi, jagung, dan cabai. Sebaliknya, bagi kalian yang tinggal di wilayah kota menjumpai tempat-tempat yang padat hunian penduduk dengan pemanfaatan lahan sebagai pusat bisnis dan retail, lahan terbuka, pergudangan, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya.

1. Pengembangan Wilayah Desa dan Perdesaan

a. Pengertian Desa dan Perdesaan

Desa secara harfiah berasal dari bahasa India, yaitu swadesi yang artinya negeri asal, tempat asal, atau tanah leluhur. Pengertian desa seringkali diasosiasikan dengan sistem sosial terkecil yang terletak di wilayah yang jauh dari perkotaan. Definisi mengenai desa sendiri telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Undang-undang tersebut menyatakan bahwa desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah dan memiliki wewenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal-usul, atau hak tradisional yang berlaku. Perdesaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam, permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi (Endah, 2020; Maryani & Waluya, 2008). Selain definisi desa secara yuridis, berkembang pula definisi-definisi lain tentang desa yang dikemukakan oleh beberapa ahli geografi dan perkotaan.
  • Menurut Bintarto, desa adalah wujud geografis yang muncul akibat unsurunsur fisiografis, sosial, ekonomi, politik, dan kultural yang terdapat di suatu tempat dalam hubungannya dengan wilayah lain.
  • Menurut Finch, desa adalah kesatuan lokasi yang menjadi tempat tinggal dan bukan merupakan pusat perdagangan (Suhardjo, 2008).
Berdasarkan konsep desa yang telah dikemukakan, desa merupakan unit geografis terkecil ditandai dengan sistem sosial yang bersifat tradisional, memiliki potensi alam yang beragam, dan aktivitas ekonomi yang didominasi oleh kegiatan pertanian (agraris). Apakah pengertian tersebut sesuai dengan
kondisi desa tempat kalian tinggal atau yang kalian lihat? Tentu sangat menarik untuk mencermatinya.

b. Karakteristik Desa

Setiap wilayah memiliki karakteristik yang membedakannya dengan wilayah lain. Begitu pula dengan desa. Ada beberapa unsur yang membedakan wilayah desa dengan wilayah kota, antara lain sebagai berikut (Kustiwan, 2014).

1) Sistem sosial

Sistem sosial masyarakat desa erat kaitannya dengan kebudayaan tradisional, adat istiadat, dan norma yang berlaku. Hal ini membuat segala bentuk kegiatan dan hukum.

2) Hubungan kekerabatan

Masyarakat desa memiliki pola interaksi dan hubungan kekerabatan yang kuat sehingga segala bentuk permasalahan umumnya akan selalu diselesaikan dengan asas kekeluargaan.

3) Basis kegiatan masyarakat

Kegiatan masyarakat desa identik dengan sektor ekonomi primer yang berusaha mengelola sumber daya secara alami. Basis kegiatan masyarakat desa meliputi pertanian, peternakan, dan perikanan.

4) Hubungan masyarakat

Hubungan antar masyarakat desa cenderung masih sangat erat, ditandai dengan sistem gotong royong yang menjadi salah satu ciri khas dari kegiatan-kegiatan di desa. Hal ini karena masyarakat desa hidup berdampingan dan menganggap tetangganya sebagai keluarga.

5) Struktur data kependudukan

Kawasan perdesaan memiliki kepadatan penduduk yang rendah, dengan rasio perbandingan yang relatif besar antara manusia dan luas lahan. Artinya, lahan di desa memiliki luas/daya tampung yang lebih besar jika dibandingkan dengan jumlah penduduknya. Sebagai suatu unit geografis, setiap desa memiliki unsur vital yang menentukan perkembangan desa. Ada tiga unsur vital yang terdapat pada sebuah desa, yaitu daerah, penduduk, dan tata kehidupan. Ketiga unsur tersebut diuraikan singkat sebagai berikut.

1) Daerah

Daerah secara umum terdiri atas lokasi, luas, dan garis yang membatasi lingkungan geografis setempat. Daerah desa tersusun dari lahan-lahan produktif dan nonproduktif serta berbagai bentuk pengelolaannya. Umumnya lahan di pedesaan dikelola menjadi lahan pertanian dan juga permukiman bagi masyarakat petani.

2) Penduduk

Penduduk adalah sekumpulan individu yang menempati ruang wilayah geografis tertentu. Penduduk meliputi jumlah, pertambahan, kepadatan, penyebaran, dan mata pencaharian.

3) Tata kehidupan

Tata kehidupan secara umum berkaitan dengan pola interaksi antar masyarakat dan kebudayaan di suatu wilayah. Tata kehidupan desa identik dengan kerukunan, gotong royong, dan berpegang teguh pada nilai tradisi dan budaya wilayah setempat (Rosida, et al 2017; Bintarto, 1977).

c. Klasifikasi Desa

Indonesia memiliki jumlah desa yang sangat banyak. Secara nasional, ada 74.961 desa yang beragam keadaannya. Ada desa swadaya, swakarya, dan swasembada. Ada pula desa mandiri, berkembang, dan tertinggal. Oleh karena itu, perlu dilakukan klasifikasi agar dapat dikembangkan lebih optimal. Berdasarkan tingkat kemajuannya, ada tiga jenis desa, yaitu desa mandiri, desa berkembang, dan desa tertinggal. Ketiga jenis desa tersebut diuraikan sebagai berikut.

1) Desa mandiri

Desa mandiri atau disebut desa sembada adalah desa maju yang memiliki kemampuan melaksanakan pembangunan desa untuk peningkatan kualitas hidup dan kehidupan sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat desa. Desa ini dicirikan dengan:
  • ketersediaan dan akses pelayanan dasar yang memadai,
  • infrastruktur yang baik, aksesibilitas yang tidak sulit, serta
  • pelayanan umum yang bagus dan penyelenggaraan pemerintahan yang sudah sangat baik.
Desa mandiri memiliki Indeks Desa Membangun (IDM) > 0,8155. Peningkatan jumlah desa mandiri dapat menunjukkan peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat desa. Menurut Kementerian Desa, Pembangunan Daerah tertinggal dan Transmigrasi, bahwa telah terjadi peningkatan jumlah desa mandiri sebanyak 174 desa yang awalnya pada tahun 2015 sebanyak 6.064 menjadi 6.238 desa pada tahun 2022 (Mahrofi, 2022). Beberapa contoh desa yang termasuk kategori mandiri adalah Desa Julubori (Kabupaten Gowa), Desa Lanci Jaya (Kabupaten Dompu), Desa Bululawang (Kabupaten Malang), Desa Reksosari (Kabupaten Semarang), dan Desa Melung (Kabupaten Banyumas).

2) Desa berkembang

Desa berkembang atau disebut desa madya merupakan desa potensial yang nantinya mampu menjadi desa maju. Desa ini memiliki potensi sumber daya yang cukup memadai, misalnya ketersediaan dan akses terhadap pelayanan dasar, infrastruktur, aksesibilitas/ transportasi, pelayanan umum, dan penyelenggaraan pemerintahan, tetapi belum dapat mengelolanya secara maksimal untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat desa. Desa berkembang memiliki IDM ≤ 0,7072 dan > 0,5989. Desa berkembang yang ada di Indonesia tercatat sampai tahun 2022 sebanyak 33.878 desa. Desa-desa yang termasuk kategori ini, antara lain Desa Pesanggrahan (Kabupaten Mojokerto), Desa Rejoso Kidul (Kabupaten Pasuruan), Desa Kedung (Kabupaten Tangerang), dan Desa Langkura (Kabupaten Jeneponto).

3) Desa tertinggal

Desa tertinggal atau disebut desa pramadya merupakan desa yang memiliki potensi sumber daya, seperti pelayanan dasar, infrastruktur, aksesibilitas/ transportasi, pelayanan umum, dan penyelenggaraan pemerintahan, tetapi belum atau kurang mampu mengelolanya dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat desa serta kualitas hidup manusia. Desa tertinggal mengalami kemiskinan dalam berbagai bentuknya. Desa tertinggal memiliki IDM ≤ 0,5989 dan > 0,4907. Desa tertinggal yang terdapat di Indonesia tercatat sebanyak 9.202 pada tahun 2022. Desa yang termasuk kategori ini, antara lain Desa Leuwibalang (Kabupaten Pandeglang), Desa Dolok Raja (Kabupaten Samosir), Desa Iwoikondo (Kabupaten Kolaka Timur), Desa Warambe (Kabupaten Muna), dan Desa Jareng (Kabupaten Pidie). Berdasarkan pengukuran Indeks Pembangunan Desa (IPD) di Indonesia, tingkatan desa terbanyak didominasi oleh desa berkembang, yaitu 73,40%, diikuti desa tertinggal 19,17%, kemudian desa mandiri 7,43% (BPS, 2019). Berikut merupakan persentase desa berdasarkan data Badan Pusat Statistik tahun 2019.
Persentase Desa Berdasarkan Data Badan Pusat Statistik Tahun 2019.

Selain berdasarkan tingkat kemajuannya, desa juga diklasifikasikan menurut tingkat pembangunan dan kemampuan wilayahnya untuk mengembangkan potensi yang dimiliki. Berdasarkan tingkat pembangunan dan kemampuan wilayahnya, desa diklasifikasikan menjadi desa swadaya, desa swakarya, dan desa swasembada.

1) Desa swadaya

Desa swadaya adalah suatu wilayah desa yang masyarakatnya sebagian besar memenuhi kebutuhan dengan cara mengadakan sendiri. Desa ini umumnya terpencil dan masyarakatnya jarang berhubungan dengan masyarakat luar. Proses kemajuannya sangat lambat karena kurang berinteraksi dengan wilayah
lain atau bahkan tidak sama sekali. Salah satu desa yang termasuk kategori swadaya ialah Desa Kanekes. Desa ini terletak di Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Desa ini didiami oleh suku Badui, salah satu suku bangsa dengan corak keunikan budaya atau tradisinya.
    Suku Badui pada kenyataannya merupakan suku yang tidak ingin terkontaminasi dengan budaya luar untuk menjaga tradisi yang sudah menjadi habitus dalam menjalani perannya dalam masyarakat, misalnya terkait penggunaan handphone, televisi, penerangan listrik, dan sebagainya (Bahrudin & Zurohman, 2021). Suku Badui memercayai bahwa keberadaan mereka untuk menjaga keseimbangan alam, mereka diciptakan untuk mengelola tanah suci (taneuh titipan) yang menjadi pusat bumi. Hal ini dapat dilihat dari aktivitas yang senantiasa menjaga sungai dari pencemaran lingkungan serta kelestarian hutan.
Desa Swadaya
Sumber: Wikipedia/Ganjarmustika1904 (2021).

2) Desa swakarya

Desa swakarya adalah suatu wilayah desa yang keadaannya sudah lebih maju dibandingkan desa swadaya. Masyarakatnya sudah mampu menjual kelebihan hasil produksi ke daerah lain di samping untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Interaksi sudah mulai nampak, walaupun intensitasnya belum terlalu sering. Di berbagai wilayah, masih cukup banyak desa yang termasuk kategori swakarya, salah satunya adalah Desa Kemiren di Kabupaten Banyuwangi.
Desa Swakarya
Sumber: Ngopibareng.id/Istimewa (2019).
Penduduk Desa Kemiren merupakan kelompok masyarakat yang memiliki adat istiadat dan budaya yang dikenal sebagai suku Osing. Pemerintah menetapkan sebagai cagar budaya dan mengembangkannya sebagai Desa Wisata Suku Osing (Kompas.com). Desa Wisata Osing ini menyediakan fasilitas utama, yaitu gedung kesenian sebagai objek pelestarian kebudayaan dan fasilitas penunjang seperti penginapan dan rekreasi berenang yang bersifat publik.

3) Desa swasembada

Desa swasembada adalah desa yang sudah mampu mengembangkan semua potensi yang dimiliki secara optimal. Hal ini ditandai dengan kemampuan masyarakatnya untuk mengadakan interaksi dengan masyarakat luar, melakukan tukar-menukar barang dengan wilayah lain (fungsi perdagangan), dan kemampuan untuk saling memengaruhi dengan penduduk di wilayah lain. Dari hasil interaksi tersebut, masyarakat dapat menyerap teknologi baru untuk memanfaatkan sumber dayanya sehingga proses pembangunan berjalan dengan baik (Rosida, et al. 2017). Desa Wonoayu merupakan salah satu desa swasembada yang berada di Kecamatan Wajak, Kabupaten Malang. Desa ini menjadi penyokong terbesar kebutuhan daging sapi secara nasional. Sekitar 87% warga Desa Wonoayu mengandalkan hidup dari beternak sapi. Pada bulan-bulan tertentu para pemilik sapi di Desa Wonoayu bahkan akan menggelar kawin massal ternak mereka melalui inseminasi buatan sapi (ppski.or.id).
Desa Swasembada
Sumber: Wikipedia/Suga Ahamd KKN12 (2018).

d. Potensi Desa


Potensi desa adalah segala sumber daya alam dan sumber daya manusia yang dimiliki desa untuk dimanfaatkan sebagai penunjang keberlangsungan dan perkembangan desa (Bawono, 2019). Potensi desa juga dapat diartikan sebagai keseluruhan sumber daya yang dimiliki oleh desa dan dapat digunakan untuk berbagai kepentingan, seperti pemecahan masalah dan pembangunan desa. Potensi desa meliputi tiga aspek utama, yaitu lingkungan fisik, sumber daya manusia, dan kekuatan kelembagaan. Ketiga aspek tersebut diuraikan sebagai berikut.

1) Lingkungan fisik (sumber daya alam)

Potensi fisik dari wilayah desa mencakup keseluruhan kondisi alam, seperti tanah, sumber daya air, iklim, dan hewan ternak.
  • Tanah, mencakup lahan pertanian, sumber daya tambang (batuan dan mineral), dan lahan permukiman.
  • Sumber daya air, dalam hal ini ketersediaan air untuk aktivitas sehari-hari dan aktivitas ekonomi khususnya irigasi.
  • Iklim merupakan komponen esensial dalam mendukung kegiatan pertanian dan perkebunan Hewan ternak, dikelola masyarakat desa sebagai aktivitas ekonominya sehingga hewan ternak merupakan potensi yang dapat menjadi nilai tambah bagi masyarakat desa.

2) Potensi sumber daya manusia

Sumber daya manusia adalah kemampuan terpadu/interaksi antara daya pikir (akal budi) yang mempunyai pengetahuan dan pengalaman dengan daya fisik (kecakapan atau keterampilan) yang dimiliki masing-masing individu manusia (Malayu dalam Soemarsono, 2018). Sumber daya manusia yang berkualitas dapat menjadi sebuah aset yang nantinya mampu memberikan kontribusi bagi kemajuan/pembangunan sebuah desa.Peningkatan sumber daya manusia dapat dikembangkan melalui proses perencanaan pendidikan, pelatihan, dan pengelolaan tenaga atau pegawai untuk mencapai suatu hasil optimal. Potensi sumber daya manusia dalam hal ini mencakup masyarakat desa serta kelembagaan desa.

3) Kelembagaan desa

Lembaga atau organisasi desa merupakan salah satu elemen penting dalam pembangunan desa (Yupita & Juita, 2020). Tanpa adanya kelembagaan desa, maka pembangunan infrastruktur tidak mampu dilaksanakan. Lembaga desa bertugas membantu pemerintah desa dalam aspek perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian pembangunan yang bertumpu pada masyarakat. Komponen kelembagaan desa yang berperan penting dalam mendorong kemajuan desa, antara lain sebagai berikut (Budianta, 2010).
  • Masyarakat desa, merupakan motor penggerak dalam kemajuan suatu desa melalui berbagai usaha, aktivitas ekonomi, kegiatan sosial yang bersifat gotong royong, dan kegiatan kebudayaan.
  • Lembaga sosial, pendidikan, dan organisasi sosial yang dapat memberikan bantuan sosial dan bimbingan secara terpadu untuk pemberdayaan masyarakat.
  • paratur atau pamong desa, merupakan pihak yang berperan aktif menjaga ketertiban dan keamanan demi kelancaran pemerintahan desa.
Ditinjau dari potensi fisik dan sosial yang dimiliki desa, terdapat tiga klasifikasi potensi desa, yaitu sebagai berikut (Rosida, et al. 2017).

1) Desa potensi tinggi

Desa dengan potensi wilayah yang tinggi dicirikan dengan kondisi lahan pertanian yang subur, topografi datar atau agak miring, dilengkapi dengan fasilitas irigasi teknis yang memadai, sumber daya manusia yang produktif, dan kelembagaan desa yang aktif berperan dalam pemberdayaan masyarakatnya.

2) Desa potensi sedang

Desa dengan potensi wilayah sedang dicirikan dengan kondisi lahan pertanian yang kurang subur, memiliki sebagian irigasi teknis dan sebagian nonteknis, serta topografi wilayah yang tidak rata.

3) Desa potensi rendah

Desa dengan potensi wilayah yang rendah memiliki karakteristik lahan pertanian yang tidak subur, topografi wilayah yang berbukit, sumber air sulit diperoleh, dan pertanian yang cenderung bergantung pada curah hujan. Gambar berikut merupakan contoh desa dengan potensi fisik yang tinggi, potensi sumber daya manusia yang berkualitas, dan kelembagaan desa yang produktif. Bagaimana dengan desa kalian?
Sumber: Freepik.com/Nahumam (2022), Infotorial/Mr.j (2021), dan MI/Denny Susanto (2020)
Potensi fisik Desa, Sumber Daya manusia dan kelembagaan Desa


e. Permasalahan Desa

Selain potensi, desa juga menghadapi permasalahan yang memerlukan pemecahan. Permasalahan desa tersebut perlu diidentifikasi dalam upaya pembangunan wilayah desa.

1) Kondisi desa tertinggal

Masyarakat yang bertempat tinggal di desa ini memiliki keterbatasan akses terhadap pelayanan sosial, ekonomi, dan politik, serta terisolir dari wilayah di sekitarnya. Oleh karena itu, kesejahteraan kelompok masyarakat yang hidup di wilayah tertinggal memerlukan perhatian yang besar dan keberpihakan pembangunan dari pemerintah. Berikut data desa tertinggal di Indonesia dari tahun ke tahun.


2) Kemiskinan
Kemiskinan merupakan permasalahan yang sering kali dikaitkan dengan Lmasyarakat desa. Hal inilah yang menjadi dasar pemerintah dalam melakukan
pemerataan kesejahteraan harus dimulai dari desa. Fenomena kemiskinan di wilayah desa umumnya terjadi akibat banyaknya masyarakat desa yang
hanya menempuh pendidikan dasar. Sementara hanya sedikit lapanganpekerjaan yang mampu menampung tingkat pendidikan tersebut. Dengan
demikian, tenaga kerja tamatan pendidikan dasar cenderung terserap ke sektor ekonomi primer seperti agraris/pertanian. Berikut disajikan gambaran tingkat kemiskinan dari tahun ke tahun.
Poto
Persentase penduduk miskin pada Maret 2022 sebesar 9,54%, menurun 0,17% terhadap September 2021 dan menurun 0,60% terhadap Maret 2021. Jumlah penduduk miskin pada Maret 2022 sebesar 26,16 juta orang, menurun0,34 juta orang terhadap September 2021 dan menurun 1,38 juta orang terhadap Maret 2021.
3) Minimnya tenaga kerja potensial akibat peningkatan laju urbanisasi Daya tarik kota sebagai tujuan urbanisasi mengakibatkan banyaknya tenaga kerja potensial yang berpindah dari desa dan tinggal di kota. Hal ini mengakibatkan minimnya sumber daya manusia potensial sebagai bagian dari pembangunan. Mudahnya akses pasar dan fasilitas yang memadai membuat sebagian masyarakat memiliki meninggalkan desa untuk tinggal di kota (Asariansyah, et al., 2013;
Maryani & Waluya, 2008; Syahza & Suarman, 2018). Bank Dunia memproyeksikan jumlah penduduk Indonesia yang tinggal di kawasan perkotaan sebanyak 220 pada tahun 2045. Artinya, urbanisasi di Indonesia senantiasa meningkat dari yang tadinya 56,7% pada tahun 2022 menjadi 70% (Isyanah, 2020).
f. Prinsip Pengelolaan Pembangunan Desa
Pembangunan desa dilakukan secara holistik dan arif sesuai dengan prinsip-prinsip pengelolaan pembangunan desa. Ada empat prinsip pengelolaan pembangunan desa, yaitu sebagai berikut.
• Akuntabilitas, artinya pengelolaan kegiatan harus dapat dipertanggung jawabkan kepada masyarakat.
• Transparansi, artinya pengelolaan kegiatan harus dilakukan secara terbuka dan diketahui oleh masyarakat (Darmoko, 2014).
• Partisipatif, artinya keikutsertaan dan keterlibatan masyarakat secara aktif dalam proses pembangunan.
• Berkelanjutan, artinya pengelolaan kegiatan dapat memberikan manfaat kepada masyarakat secara berkelanjutan.
Selain memperhatikan prinsip-prinsip pengelolaan pembangunan, implementasi pembangunan desa juga memperhatikan elemen penting yang berpengaruh terhadap kemajuan desa. Ada tiga elemen yang berpengaruh terhadap kemajuan desa, yaitu potensi desa, interaksi desa-kota, dan posisi
desa terhadap wilayah lain yang lebih maju.
1) Potensi desa
Ada dua potensi utama desa yang signifikan pengaruhnya terhadap kemajuan, yaitu sumber daya alam dan sumber daya manusia. Desa-desa yang memiliki sumber daya alam besar dan sumber daya manusia yang berkualitas akan memiliki
peluang lebih besar dan lebih cepat untuk maju. Sebaliknya desa dengan sumber daya yang terbatas akan banyak menghadapi kendala untuk maju. Contoh Desa Condongcatur, Yogyakarta mengalami kemajuan cepat karena didukung sumber daya alam yang mencukupi dan sumber daya manusia yang berkualitas,
2) Interaksi desa-kota
Interaksi desa-kota merupakan hubungan timbal balik antara desa dan kota. Interaksi yang intensif antara keduanya ditandai masuknya barang-barang
primer dari desa ke kota dan barang sekunder atau tersier dari kota ke desa. Interaksi yang intensif antara keduanya akan memberikan kemajuan bagi desa yang lebih besar.
3) Posisi desa terhadap wilayah lain yang lebih maju Setiap desa berada di antara desa-desa yang lain. Keberadaan desa sekitar penting untuk mendorong kemajuan. Posisi desa terhadap desa lain akan memberikan dukungan aksesibilitas untuk kemajuan yang lebih besar. Berdasarkan ketiga faktor tersebut, maka praktik pembangunan wilayah tidak dapat diseragamkan antara satu wilayah dengan wilayah lainnya. Hal ini dikarenakan perbedaan potensi, posisi, dan interaksi yang terjadi antara satu wilayah dengan wilayah lain.
g. Dinamika dan Arah Pembangunan Desa
Pembangunan wilayah desa merupakan proses yang berperan penting dalam pelaksanaan pembangunan nasional. Pembangunan desa telah diamanatkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015−2019. RPJMN merupakan dokumen strategis yang menjadi acuan resmi rencana pembangunan pemerintah daerah dan pemangku kepentingan lainnya dalam melaksanakan pembangunan.

Share with your friends

Related Posts

Give us your opinion

:)
:(
hihi
:-)
:D
=D
:-d
;(
;-(
@-)
:P
:o
:>)
(o)
:p
(p)
:-s
(m)
8-)
:-t
:-b
b-(
:-#
=p~
x-)
(k)
Notification
This is just an example, you can fill it later with your own note.
Done